TUGAS AGAMA KATHOLIK :
Konsep Trinitas
Memahami Allah Tritunggal (Secara
Singkat)
Allah
Tritunggal atau Trinitas merupakan doktrin yang sukar dan membingungkan kita.
Kadang-kdang orang Kristen dituduh mengajarkan pemikiran yang tidak masuk akal
(logika), yaitu 1+1+1=1. ini merupakan pernyataan yang salah. Mengapa tidak
memakai formula 1x1x1=1 atau 1:1:1=1? Istilah Trinitas bukan menjelaskan relasi
dari Tiga Allah (ini yang sering dikatakan oleh sekte Unitarian kepada Orang
Kristen). Tritunggal bukan berarti triteisme, yaitu di mana ada tiga keberadaan
yang tiga-tiganya
adalah Allah. Kata Trinitas dipergunakan sebagai usaha untuk menjelaskan
kepenuhan dari Allah, baik dalam hal keesaan-Nya maupun dalam hal
keragaman-Nya.
Formulasi Trinitas yang telah dikemukakan dalam sejarah
adalah Allah itu satu esensi dan tiga Pribadi. Formula ini memang
merupakan suatu hal yang misteri dan paradoks tetapi tidak
kontradiksi. Keesaan dari Allah dinyatakan sebagai esensi-Nya atau
keberadaan-Nya, sedangkan keragaman-Nya diekspresikan dalam Tiga Pribadi.
Istilah Trinitas sendiri tidak terdapat dalam Alkitab, namun konsepnya dengan
jelas diajarkan oleh Alkitab. Di satu sisi, Alkitab dengan tegas menyatakan
keesaan Allah (Ulangan 6:4) dan (ihat juga 1Kor 8:4,6; 1Tim 2:5-6, Yak2:19) Di
sisi lain, Alkitab dengan tegas menyatakan keilahian tiga pribadi dari Allah:
Bapa, Anak dan Roh Kudus. Gereja telah menolak ajaran-ajaran bidat modalisme
dan triteisme. Modalisme adalah ajaran yang menyangkali perbedaan
Pribadi-Pribadi yang ada di dalam keesaan Allah, dan menyatakan bahwa Bapa,
Anak dan Roh Kudus hanyalah merupakan tiga cara Allah di dalam mengkspresikan
diri-Nya. Di pihak lain, Triteisme mengungkapkan pernyataan yang salah, yaitu
ada tiga keberadaan yang menjadi Allah.
Istilah Pribadi sama sekali tidak berarti adanya
perbedaan di dalam esensi, tetapi perbedaan di dalam subtansi dari Allah.
Substansi-substansi pada diri Allah memiliki perbedaan yang nyata satu dengan
yang lain tetapi tidak berbeda secara esensi, dalam arti suatu keberadaan yang
berbeda satu dengan yang lain.setiap Pribadi berada ”di bawah” esensi Allah
yang murni. Perbedaan substansi ini berada dalam wilayah keberadaan, bukan
suatu merupakan suatu keberadaan atau esensi yang terpisah. Semua pribadi pada
diri Allah memiliki atribut ilahi.
Setiap
Pribadi di dalam Trinitas memiliki peran yang berbeda. Karya
keselamatan dalam pengertian tertentu merupakan pekerjaan dari ketiga Pribadi
Allah Tritunggal. Namun, di dalam pelaksanaannya ada peran yang berbeda yang
dikerjakan oleh Bapa, Anak dan Roh Kudus. Bapa memprakarsai penciptaan dan
penebusan; Anak menebus ciptaan; dan Roh Kudus melahirbarukan dan menguduskan,
dalam rangka mengaplikasikan penebusan kepada orang-orang percaya.
Keilahian
Bapa:
·
Mat 6:26 bdk Mat 30,32, Yoh.1:18,
6:46, Ro 1:7
Keilahian
Yesus Kristus:
·
Pengakuan Tomas: Yoh 20:28.
·
Kesaksian Paulus: Flp 2:5-11.
·
Ibr 1:2,8.
·
malaikat Allah adalah malaikat-Nya:
Luk.12:8-9; 15:10, Mat13:41.
·
kerajaan Allah dan orang-orang
pilihan Allah adalah milik-Nya: Mat 12:28, 19:14, 24, 21:31,43, Mrk13:20.
·
mengampuni dosa: Mrk 2:8-10.
·
wewenang untuk menghakimi dunia:
Mat.25:31.
·
berkuasa atas dunia: Mat 24:30, Mrk
14:62.
Keilahian
Roh Kudus:
·
berdusta kepada Roh Kudus = berdusta
kepada Allah ( bdk. 1 Kor.6:19-20).
·
Roh Kudus digambarkan sebagai
memiliki sifat dan melakukan pekerjaan Allah (Yoh.16:8-11, 3:18).
·
Roh Kudus dinyatakan sederajat
dengan Allah(Mat 28:19; 2Kor 13:14, 1Pet 1:2).
Doktrin Tritunggal tidak menunjukkan bagian-bagian atau
peran-peran dari Allah. Analogi manusia yang menjelaskan seseorang yang adalah
seorang ayah, seorang anak, dan seorang suami tidak dapat mewakili misteri dari
natur Allah.
Doktrin Tritunggal tidak secara lengkap menjelaskan
tentang karakter Allah yang bersifat misteri. Sebaliknya, doktrin ini memberikan
perbatasan yang tidak boleh kita langkahi. Doktrin ini menjelaskan batas
pemikiran kita yang terbatas. Doktrin Tritunggal menuntut kita untuk setia pada
wahyu ilahi yang menyatakan bahwa dalam satu pengertian Allah adalah esa dan
dalam pengertian lain Dia dalah tiga.
·
Doktrin Tritunggal meneguhkan kesatuan Allah di dalam
tiga pribadi
·
Doktrin Tritunggal bukan merupakan suatu kontradiksi;
Allah memiliki satu esensi dan tiga pribadi.
·
Alkitab meneguhkan baik keesaan Allah dan keilahian dari
Bapa, Anak dan Roh Kudus.
·
Ketiga pribadi di dalam Tritunggal dibedakan melalui
karya yang dilakukan oleh Bapa, Anak dan Roh Kudus.
·
Doktrin Tritunggal memberikan batasan kepada spekulasi
manusia tentang natur Allah.
Trinitas:
Satu Tuhan dalam Tiga Pribadi ( Lengkap )
Pembahasan
Doa Pembukaan
Dalam nama Bapa dan Putera
dan Roh Kudus,
Ya Allah Tritunggal
Maha Kudus, kami memuji nama-Mu dan keajaiban kasih-Mu yang Engkau nyatakan di
dalam Kristus Putera-Mu yang telah wafat dan bangkit bagi kami. Di dalam
Kristuslah, kami mengenal kedalaman misteri kehidupan-Mu, yang adalah KASIH
ilahi. Berikanlah kepada kami, ya Tuhan, rahmat pengertian akan misteri
kasih-Mu itu, agar kami dapat memuliakan Engkau dan menyembah kesatuan Kasih
Ilahi-Mu. Semoga oleh kuasa-Mu, hati kami dapat terbuka untuk melihat betapa
besar dan dalamnya misteri Kasih itu. Di dalam nama Yesus Kristus kami naikkan
doa ini. Amin.
Kesalahan persepsi dan
tentang Trinitas (Allah Tritunggal Maha Kudus).
Banyak orang yang
mempertanyakan ajaran tentang Trinitas, bahkan banyak orang yang bukan Kristen
mengatakan bahwa orang Kristen percaya akan tiga Tuhan. Tentu saja hal ini
tidak benar, sebab iman Kristiani mengajarkan Allah yang Esa. Namun bagaimana
mungkin Allah yang Esa ini mempunyai tiga Pribadi? Untuk memahami hal ini
memang diperlukan keterbukaan hati untuk memandang Allah dari sudut pandang
yang mengatasi pola berpikir manusia. Jika kita berkeras untuk membatasi
kerangka berpikir kita, bahwa Allah harus dapat dijelaskan dengan logika
manusia semata-mata, maka kita membatasi pandangan kita sendiri, sehingga
kehilangan kesempatan untuk melihat gambaran yang lebih luas tentang Allah.
Jika kita berpikir demikian, kita bagaikan, maaf, memakai ‘kacamata kuda’: Kita
mencukupkan diri kita dengan pandangan Allah yang logis menurut pikiran kita
dan tanpa kita sadari kita menolak tawaran Allah agar kita lebih dapat mengenal
DiriNya yang sesungguhnya.
Dari mana kita
mengetahui bahwa Tuhan adalah Allah Tritunggal?
Walaupun kita
mengetahui bahwa konsep Trinitas ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan akal,
bukan berarti bahwa Allah Tritunggal ini adalah konsep yang sama sekali tidak
masuk akal. Berikut ini adalah sedikit uraian bagaimana kita dapat mencoba
memahami Trinitas, walaupun pada akhirnya harus kita akui bahwa adanya tiga
Pribadi dalam Allah yang Satu ini merupakan misteri yang tidak cukup kita
jelaskan dengan akal, sebab jika dapat dijelaskan dengan tuntas, maka hal itu
tidak lagi menjadi misteri.St. Agustinus bahkan mengatakan, “Kalau engkau memahami-Nya, Ia
bukan lagi Allah”.[1] Sebab Allah jauh melebihi manusia dalam
segala hal, dan meskipun Ia telah mewahyukan Diri, Ia tetap tinggal sebagai
rahasia/ misteri yang tak terucapkan. Di sinilah peran iman, karena dengan iman
inilah kita menerima misteri Allah yang diwahyukan dalam Kitab Suci, sehingga
kita dapat menjadikannya sebagai dasar pengharapan, dan bukti dari apa yang
tidak kita lihat (lih. Ibr. 11:1-2). Agar dapat sedikit menangkap maknanya,
kita perlu mempunyai keterbukaan hati. Hanya dengan hati terbuka, kita dapat
menerima rahmat Tuhan, untuk menerima rahasia Allah yang terbesar ini; dan hati
kita akan dipenuhi oleh ucapan syukur tanpa henti.
Mungkin kita pernah
mendengar orang yang menjelaskan konsep Allah Tritunggal dengan
membandingkan-Nya dengan matahari: yang terdiri dari matahari itu sendiri,
sinar, dan panas. Atau dengan sebuah segitiga, di mana Allah Bapa, Allah
Putera, dan Allah Roh Kudus menempati masing-masing sudut, namun tetap dalam
satu segitiga. Bahkan ada yang mencoba menjelaskan, bahwa Trinitas adalah
seperti kopi, susu, dan gula, yang akhirnya menjadi susu kopi yang manis. Penjelasan
yang menggunakan analogi ini memang ada benarnya, namun sebenarnya tidak cukup, sehingga sangat sulit diterima oleh
orang-orang non-Kristen. Apalagi dengan perkataan, ‘pokoknya percaya saja’, ini
juga tidak dapat memuaskan orang yang bertanya. Jadi jika ada orang yang
bertanya, apa dasarnya kita percaya pada Allah Tritunggal, sebaiknya kita
katakan, “karena Allah melalui Yesus menyatakan Diri-Nya sendiri demikian”, dan
hal ini kita ketahui dari Kitab Suci.
Doktrin Trinitas atau
Allah Tritunggal Maha Kudus adalah pengajaran bahwa Tuhan
adalah SATU, namun terdiri dari TIGA pribadi: 1) Allah Bapa (Pribadi pertama), 2) Allah
Putera (Pribadi kedua), dan Allah Roh Kudus (Pribadi ketiga). Karena ini adalah
iman utama kita, maka kita harus dapat menjelaskannya lebih daripada hanya
sekedar menggunakan analogi matahari, segitiga, maupun kopi susu.
Dasar dari Kitab Suci
dan pengajaran Gereja
Yesus menunjukkan
persatuan yang tak terpisahkan dengan Allah Bapa, “Aku dan Bapa adalah satu”
(Yoh 10:30); “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa…” (Yoh
14:9). Di dalam doa-Nya yang terakhir untuk murid-murid-Nya sebelum
sengsara-Nya, Dia berdoa kepada Bapa, agar semua murid-Nya menjadi satu, sama
seperti Bapa di dalam Dia dan Dia di dalam Bapa (lih. Yoh 17: 21). Dengan
demikian Yesus menyatakan Diri-Nya sama dengan Allah: Ia adalah
Allah. Hal ini mengingatkan
kita akan pernyataan Allah Bapa sendiri, tentang ke-Allahan Yesus sebab Allah
Bapa menyebut Yesus sebagai Anak-Nya yang terkasih, yaitu pada waktu
pembaptisan Yesus (lih. Luk 3: 22) dan pada waktu Yesus dimuliakan di atas
gunung Tabor (lih. Mat 17:5).
Yesus juga menyatakan
keberadaan Diri-Nya yang telah ada bersama-sama dengan Allah Bapa sebelum
penciptaan dunia (lih. Yoh 17:5). Kristus adalah sang Sabda/ Firman, yang ada
bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah, dan oleh-Nya segala sesuatu dijadikan (Yoh
1:1-3). Tidak mungkin Yesus menjadikan segala sesuatu, jika Ia
bukan Allah sendiri.
Selain menyatakan
kesatuan-Nya dengan Allah Bapa, Yesus juga menyatakan kesatuan-Nya dengan Roh
Kudus, yaitu Roh yang dijanjikan-Nya kepada para murid-Nya dan disebutNya
sebagai Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, (lih. Yoh 15:26). Roh ini juga
adalah Roh Yesus sendiri, sebab Ia adalah Kebenaran (lih. Yoh 14:6). Kesatuan
ini ditegaskan kembali oleh Yesus dalam pesan terakhir-Nya sebelum naik ke
surga, “…Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah
mereka dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus…”(Mat 28:18-20).
Selanjutnya, kita
melihat pengajaran dari para Rasul yang menyatakan kembali pengajaran Yesus
ini, contohnya, Rasul Yohanes yang mengajarkan bahwa Bapa, Firman
(yang adalah Yesus Kristus), dan Roh Kudus adalah satu (lih 1 Yoh 5:7); demikian juga pengajaran
Petrus (lih. 1 Pet:1-2; 2 Pet 1:2); dan Paulus (lih. 1Kor 1:2-10; 1Kor
8:6; Ef 1:3-14). Rasul Paulus
Dasar dari Pengajaran
Bapa Gereja
Para Rasul mengajarkan
apa yang mereka terima dari Yesus, bahwa Ia adalah Sang Putera Allah, yang
hidup dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan Allah Roh Kudus. Iman akan Allah
Trinitas ini sangat nyata pada Tradisi umat Kristen pada abad-abad awal.
1. St. Paus
Clement dari Roma (menjadi
Paus tahun 88-99):
“Bukankah kita mempunyai satu Tuhan, dan satu Kristus, dan satu Roh Kudus yang melimpahkan rahmat-Nya kepada kita?”[2]
“Bukankah kita mempunyai satu Tuhan, dan satu Kristus, dan satu Roh Kudus yang melimpahkan rahmat-Nya kepada kita?”[2]
2. St. Ignatius dari Antiokhia (50-117) membandingkan jemaat
dengan batu yang disusun untuk membangun bait Allah Bapa; yang diangkat ke atas
oleh ‘katrol’ Yesus Kristus yaitu Salib-Nya dan oleh ‘tali’ Roh Kudus.[3]
“Ignatius, juga
disebut Theoforus, kepada Gereja di Efesus di Asia… yang ditentukan sejak
kekekalan untuk kemuliaan yang tak berakhir dan tak berubah, yang disatukan dan
dipilih melalui penderitaan sejati oleh Allah Bapa di dalamYesus Kristus Tuhan kita.”[4]
“Sebab Tuhan kita,
Yesus Kristus, telah dikandung oleh
Maria seturut rencana Tuhan: dari keturunan Daud, adalah benar, tetapi juga dari Roh
Kudus.”[5].
“Kepada Gereja yang
terkasih dan diterangi kasih Yesus Kristus, Tuhan kita, dengan kehendak Dia yang telah menghendaki
segalanya yang ada.”[6]
3. St.
Polycarpus (69-155), dalam doanya
sebelum ia dibunuh sebagai martir, “…Aku memuji Engkau (Allah Bapa), …aku memuliakan Engkau, melalui Imam Agung yang ilahi dan
surgawi, Yesus Kristus, Putera-Mu yang terkasih, melalui Dia dan
bersama Dia, dan Roh Kudus,
kemuliaan bagi-Mu sekarang dan sepanjang segala abad. Amin.”[7]
4. St.
Athenagoras (133-190):
“Sebab, … kita mengakui satu Tuhan, dan PuteraNya yang adalah Sabda-Nya, dan Roh Kudus yang bersatu dalam satu kesatuan, –Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.”[8]
“Sebab, … kita mengakui satu Tuhan, dan PuteraNya yang adalah Sabda-Nya, dan Roh Kudus yang bersatu dalam satu kesatuan, –Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.”[8]
5. Aristides sang filsuf [90-150 AD] dalam The Apology
“Orang- orang Kristen, adalah mereka yang, di atas segala bangsa di dunia, telah menemukan kebenaran, sebab mereka mengenali Allah, Sang Pencipta segala sesuatu, di dalam Putera-Nya yang Tunggal dan di dalam Roh Kudus.[9]
“Orang- orang Kristen, adalah mereka yang, di atas segala bangsa di dunia, telah menemukan kebenaran, sebab mereka mengenali Allah, Sang Pencipta segala sesuatu, di dalam Putera-Nya yang Tunggal dan di dalam Roh Kudus.[9]
6. St. Irenaeus (115-202):
“Sebab bersama Dia (Allah Bapa) selalu hadir Sabda dan kebijaksanaan-Nya, yaitu Putera-Nya dan Roh Kudus-Nya, yang dengan-Nya dan di dalam-Nya, …Ia menciptakan segala sesuatu, yang kepadaNya Ia bersabda, “Marilah menciptakan manusia sesuai dengan gambaran Kita.”[10]
“Sebab bersama Dia (Allah Bapa) selalu hadir Sabda dan kebijaksanaan-Nya, yaitu Putera-Nya dan Roh Kudus-Nya, yang dengan-Nya dan di dalam-Nya, …Ia menciptakan segala sesuatu, yang kepadaNya Ia bersabda, “Marilah menciptakan manusia sesuai dengan gambaran Kita.”[10]
“Sebab Gereja,
meskipun tersebar di seluruh dunia bahkan sampai ke ujung bumi, telah menerima
dari para rasul dan dari murid- murid mereka iman di dalam satu
Tuhan, Allah Bapa yang
Mahabesar, Pencipta langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya; dan di dalam satu
Yesus Kristus, Sang Putera Allah, yang menjadi daging bagi keselamatan kita, dan di dalam Roh
Kudus, yang [telah]
mewartakan melalui para nabi, ketentuan ilahi dan kedatangan, dan kelahiran
dari seorang perempuan, dan penderitaan dan kebangkitan dari mati dan kenaikan
tubuh-Nya ke surga dari Kristus Yesus Tuhan kita, dan kedatangan-Nya dari surga
di dalam kemuliaan Allah Bapa untuk mendirikan kembali segala sesuatu, dan
membangkitkan kembali tubuh semua umat manusia, supaya kepada Yesus Kristus
Tuhan dan Allah kita, Penyelamat dan
Raja kita, sesuai dengan kehendak Allah Bapa yang tidak kelihatan, setiap lutut
bertelut dari semua yang di surga dan di bumi dan di bawah bumi ….”[11].
“Namun demikian, apa
yang tidak dapat dikatakan oleh seorangpun yang hidup, bahwa Ia [Kristus] sendiri adalah sungguh Tuhan
dan Allah … dapat dilihat oleh
mereka yang telah memperoleh bahkan sedikit bagian kebenaran”[12].
7. St. Clement dari Alexandria [150-215 AD] dalam Exhortation
to the Heathen(Chapter 1)
“Sang Sabda, Kristus, adalah penyebab, dari asal mula kita -karena Ia ada di dalam Allah- dan penyebab dari kesejahteraan kita. Dan sekarang, Sang Sabda yang sama ini telah menjelma menjadi manusia. Ia sendiri adalah Tuhan dan manusia, dan sumber dari semua yang baik yang ada pada kita”[13].
“Sang Sabda, Kristus, adalah penyebab, dari asal mula kita -karena Ia ada di dalam Allah- dan penyebab dari kesejahteraan kita. Dan sekarang, Sang Sabda yang sama ini telah menjelma menjadi manusia. Ia sendiri adalah Tuhan dan manusia, dan sumber dari semua yang baik yang ada pada kita”[13].
“Dihina karena
rupa-Nya namun sesungguhnya Ia dikagumi, [Yesus adalah], Sang Penebus,
Penyelamat, Pemberi Damai, Sang Sabda, Ia yang jelas adalah Tuhan yang benar, Ia yang setingkat dengan Allah seluruh alam semesta sebab Ia adalah
Putera-Nya.”[14].
8. St.
Hippolytus [170-236 AD] dalam Refutation of
All Heresies (Book IX)
“Hanya Sabda Allah [yang] adalah dari diri-Nya sendiri dan karena itu adalah juga Allah, menjadi substansi Allah.[15]
“Hanya Sabda Allah [yang] adalah dari diri-Nya sendiri dan karena itu adalah juga Allah, menjadi substansi Allah.[15]
“Sebab Kristus
adalah Allah di atas segala sesuatu, yang telah merencanakan penebusan dosa dari umat manusia ….[16].
9. Tertullian [160-240 AD] dalam Against
Praxeas
“Bahwa ada dua allah dan dua Tuhan adalah pernyataan yang tidak akan keluar dari mulut kami; bukan seolah Bapa dan Putera bukan Tuhan, ataupun Roh Kudus bukan Tuhan…; tetapi keduanya disebut sebagai Allah dan Tuhan, supaya ketika Kristus datang, Ia dapat dikenali sebagai Allah dan disebut Tuhan, sebab Ia adalah Putera dari Dia yang adalah Allah dan Tuhan.”[17].
“Bahwa ada dua allah dan dua Tuhan adalah pernyataan yang tidak akan keluar dari mulut kami; bukan seolah Bapa dan Putera bukan Tuhan, ataupun Roh Kudus bukan Tuhan…; tetapi keduanya disebut sebagai Allah dan Tuhan, supaya ketika Kristus datang, Ia dapat dikenali sebagai Allah dan disebut Tuhan, sebab Ia adalah Putera dari Dia yang adalah Allah dan Tuhan.”[17].
10. Origen [185-254 AD] dalam De Principiis (Book IV)
“Meskipun Ia [Kristus] adalah Allah, Ia menjelma menjadi daging, dan dengan menjadi manusia, Ia tetap adalah Allah.”[18].
“Meskipun Ia [Kristus] adalah Allah, Ia menjelma menjadi daging, dan dengan menjadi manusia, Ia tetap adalah Allah.”[18].
11. Novatian [220-270 AD] dalam Treatise
Concerning the Trinity
“Jika Kristus hanya manusia saja, mengapa Ia memberikan satu ketentuan kepada kita untuk mempercayai apa yang dikatakan-Nya, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” (Yoh 17:3). Bukankah Ia menghendaki agar diterima sebagai Allah juga? Sebab jika Ia tidak menghendaki agar dipahami sebagai Allah, Ia sudah akan menambahkan, “Dan manusia Yesus Kristus yang telah diutus-Nya,” tetapi kenyataannya, Ia tidak menambahkan ini, juga Kristus tidak menyerahkan nyawa-Nya kepada kita sebagai manusia saja, tetapi satu diri-Nya dengan Allah, sebagaimana Ia kehendaki agar dipahami oleh persatuan ini sebagai Tuhan juga, seperti adanya Dia. Karena itu kita harus percaya, seusai dengan ketentuan tertulis, kepada Tuhan, satu Allah yang benar, dan juga kepada Ia yang telah diutus-Nya, Yesus Kristus, yang, …tidak akan menghubungkan Diri-Nya sendiri kepada Bapa, jika Ia tidak menghendaki untuk dipahami sebagai Allah juga. Sebab [jika tidak] Ia akan memisahkan diri-Nya dari Dia [Bapa], jika Ia tidak menghendaki untuk dipahami sebagai Allah.”[19].
“Jika Kristus hanya manusia saja, mengapa Ia memberikan satu ketentuan kepada kita untuk mempercayai apa yang dikatakan-Nya, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” (Yoh 17:3). Bukankah Ia menghendaki agar diterima sebagai Allah juga? Sebab jika Ia tidak menghendaki agar dipahami sebagai Allah, Ia sudah akan menambahkan, “Dan manusia Yesus Kristus yang telah diutus-Nya,” tetapi kenyataannya, Ia tidak menambahkan ini, juga Kristus tidak menyerahkan nyawa-Nya kepada kita sebagai manusia saja, tetapi satu diri-Nya dengan Allah, sebagaimana Ia kehendaki agar dipahami oleh persatuan ini sebagai Tuhan juga, seperti adanya Dia. Karena itu kita harus percaya, seusai dengan ketentuan tertulis, kepada Tuhan, satu Allah yang benar, dan juga kepada Ia yang telah diutus-Nya, Yesus Kristus, yang, …tidak akan menghubungkan Diri-Nya sendiri kepada Bapa, jika Ia tidak menghendaki untuk dipahami sebagai Allah juga. Sebab [jika tidak] Ia akan memisahkan diri-Nya dari Dia [Bapa], jika Ia tidak menghendaki untuk dipahami sebagai Allah.”[19].
12. St. Cyprian
of Carthage [200-270 AD] dalam Treatise 3
“Seseorang yang menyangkal bahwa Kristus adalah Tuhan tidak dapat menjadi bait Roh Kudus-Nya …”[20].
“Seseorang yang menyangkal bahwa Kristus adalah Tuhan tidak dapat menjadi bait Roh Kudus-Nya …”[20].
13. Lactantius [290-350 AD] dalam The Epitome
of the Divine Institutes
“Ia telah menjadi baik Putera Allah di dalam Roh dan Putera manusia di dalam daging, yaitu baik Allah maupun manusia.[21]
“Ia telah menjadi baik Putera Allah di dalam Roh dan Putera manusia di dalam daging, yaitu baik Allah maupun manusia.[21]
“Seseorang mungkin
bertanya, bagaimana mungkin, ketika kita berkata bahwa kita menyembah hanya
satu Tuhan, namun kita menyatakan bahwa ada dua, Allah Bapa dan Allah Putera,
di mana penyebutan ini telah menyebabkan banyak orang jatuh ke dalam kesalahan
yang terbesar … [yang berpikir] bahwa kita mengakui adanya Tuhan yang lain, dan
bahwa Tuhan yang lain itu adalah yang dapat mati …. [Tetapi] ketika kita bicara
tentang Allah Bapa dan Allah Putera, kita tidak bicara tentang Mereka sebagai
satu yang lain dari yang lainnya, ataupun kita memisahkan satu dari lainnya,
sebab Bapa
tidak dapat eksis tanpa Putera dan Putera tidak dapat dipisahkan dari Bapa.”[22]
14. St. Athanasius (296-373), “Sebab Putera ada di
dalam Bapa… dan Bapa ada di dalam Putera…. Mereka itu satu, bukan seperti sesuatu yang
dibagi menjadi dua bagian namun dianggap tetap satu, atau seperti satu kesatuan
dengan dua nama yang berbeda… Mereka adalah dua,(dalam arti) Bapa adalah Bapa
dan bukan Putera, demikian halnya dengan Putera… tetapi kodreat/ hakekat
mereka adalah satu (sebab
anak selalu mempunyai hakekat yang sama dengan bapanya), dan apa yang menjadi
milik BapaNya adalah milik Anak-Nya.”[23]
15. St. Agustinus (354-430), “… Allah Bapa
dan Putera dan Roh Kudusadalah
kesatuan ilahi yang erat, yang adalah satu dan sama esensinya, di dalam kesamaan yang tidak dapat
diceraikan, sehingga mereka bukan tiga Tuhan, melainkan satu Tuhan: meskipun
Allah Bapa telah melahirkan (has begotten) Putera, dan Putera lahir dari Allah Bapa, Ia yang adalah
Putera, bukanlah Bapa, dan Roh Kudus bukanlah Bapa ataupun Putera, namun Roh
Bapa dan Roh Putera; dan Ia sama (co-equal) dengan Bapa dan Putera, membentuk kesatuan Tritunggal. ”[24]
Dalam bukunya, On the Trinity (Book XV, ch. 3), St. Agustinus menjabarkan
ringkasan tentang konsep Trinitas. Secara khusus ia memberi contoh beberapa
trilogi untuk menggambarkan Trinitas, yaitu:
1) seorang pribadi yang mengasihi, pribadi yang dikasihi dan kasih itu sendiri.
2) trilogi pikiran manusia, yang terdiri dari pikiran (mind), pengetahuan (knowledge) yang olehnya pikiran mengetahui dirinya sendiri, dan kasih (love) yang olehnya pikiran dapat mengasihi dirinya dan pengetahuan akan dirinya.
3) ingatan (memory), pengertian (understanding) dan keinginan (will). Seperti pada saat kita mengamati sesuatu, maka terdapat tiga hal yang mempunyai satu esensi, yaitu gambaran benda itu dalam ingatan/ memori kita, bentuk yang ada di pikiran pada saat kita melihat benda itu dan keinginan kita untuk menghubungkan keduanya.
1) seorang pribadi yang mengasihi, pribadi yang dikasihi dan kasih itu sendiri.
2) trilogi pikiran manusia, yang terdiri dari pikiran (mind), pengetahuan (knowledge) yang olehnya pikiran mengetahui dirinya sendiri, dan kasih (love) yang olehnya pikiran dapat mengasihi dirinya dan pengetahuan akan dirinya.
3) ingatan (memory), pengertian (understanding) dan keinginan (will). Seperti pada saat kita mengamati sesuatu, maka terdapat tiga hal yang mempunyai satu esensi, yaitu gambaran benda itu dalam ingatan/ memori kita, bentuk yang ada di pikiran pada saat kita melihat benda itu dan keinginan kita untuk menghubungkan keduanya.
Khusus untuk point
yang ketiga ini kita dapat melihat contoh lain sebagai berikut: jika kita
mengingat sesuatu, misalnya menyanyikan lagu kesenangan, maka terdapat 3 hal
yang terlibat, yaitu, kita mengingat lagu itu dan liriknya dalam memori/
ingatan kita, kita mengetahui atau memikirkan dahulu tentang lagu itu dan kita
menginginkan untuk melakukan hal itu (mengingat, memikirkan-nya) karena kita
menyukainya. Nah, ketiga hal ini berbeda
satu sama lain, namun saling tergantung satu dengan yang lainnya, dan ada dalam
kesatuan yang tak terpisahkan. Kita tidak bisa menyanyikan lagu itu, kalau kita tidak
mengingatnya dalam memori; atau kalau kita tidak mengetahui lagu itu sama
sekali, atau kalau kita tidak ingin mengingatnya, atau tidak ingin mengetahui
dan menyanyikannya.
Pengajaran Gereja: Dogma
tentang Tritunggal Maha Kudus
Syahadat ‘Aku Percaya’
menyatakan bahwa rahasia sentral iman Kristen adalah Misteri Allah Tritunggal.
Maka Trinitas adalah dasar iman Kristen yang utama[25] yang disingkapkan dalam diri Yesus. Seperti
kita ketahui di atas, iman kepada Allah Tritunggal telah ada sejak zaman Gereja
abad awal, karena didasari oleh perkataan Yesus sendiri yang disampaikan
kembali oleh para murid-Nya. Jadi, tidak benar jika doktrin ini baru ditemukan
dan ditetapkan pada Konsili Konstantinopel I pada tahun 359! Yang benar ialah:
Konsili Konstantinopel I mencantumkan pengajaran tentang Allah Tritunggal
secara tertulis, sebagai kelanjutan dari Konsili Nicea (325)[26], dan untuk menentang heresies (ajaran sesat) yang berkembang pada abad ke-3
dan ke-4, seperti Arianisme (oleh Arius 250-336, yang menentang kesetaraan
Yesus dengan Allah Bapa) dan Sabellianisme (oleh Sabellius 215 yang membagi
Allah dalam tiga modus, sehingga seolah ada tiga Pribadi yang terpisah).
Dari sejarah Gereja
kita melihat bahwa konsili-konsili diadakan untuk menegaskan
kembali ajaran Gereja (yang
sudah berakar sebelumnya) dan menjaganya terhadap serangan ajaran-ajaran sesat/
menyimpang. Jadi yang ditetapkan dalam konsili merupakan peneguhan ataupun
penjabaran ajaran yang sudah ada, dan bukannya menciptakan ajaran baru. Jika
kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan semakin menyadari bahwa Tuhan Yesus
sendiri menjaga Gereja-Nya: sebab setiap kali Gereja ‘diserang’ oleh ajaran
yang sesat, Allah mengangkat Santo/Santa yang dipakai-Nya untuk meneguhkan
ajaran yang benar dan Yesus memberkati para penerus rasul dalam konsili-konsili
untuk menegaskan kembali kesetiaan ajaran Gereja terhadap pengajaran Yesus
kepada para Rasul. Lebih lanjut mengenai hal ini akan dibahas di dalam artikel
terpisah, dalam topik Sejarah Gereja.
Berikut ini adalah
Dogma tentang Tritunggal Maha Kudus menurut Katekismus Gereja Katolik, yang
telah berakar dari jaman jemaat awal:
1. Tritunggal adalah Allah yang
satu.[27] Pribadi ini tidak
membagi-bagi ke-Allahan seolah masing-masing menjadi sepertiga, namun mereka
adalah ‘sepenuhnya dan seluruhnya’. Bapa adalah yang sama seperti Putera,
Putera yang sama seperti Bapa; dan Bapa dan Putera adalah yang sama seperti Roh
Kudus, yaitu satu Allah dengan kodrat yang sama. Karena kesatuan ini, maka Bapa
seluruhnya ada di dalam Putera, seluruhnya ada dalam Roh Kudus; Putera
seluruhnya ada di dalam Bapa, dan seluruhnya ada dalam Roh Kudus; Roh Kudus ada
seluruhnya di dalam Bapa, dan seluruhnya di dalam Putera.
2. Ketiga Pribadi ini berbeda secara real satu sama lain, yaitu di dalam hal
hubungan asalnya: yaitu Allah Bapa
yang ‘melahirkan’, Allah Putera yang dilahirkan, Roh Kudus yang dihembuskan.[28]
3. Ketiga Pribadi ini berhubungan
satu dengan yang lainnya.
Perbedaan dalam hal asal tersebut tidak membagi kesatuan ilahi, namun malah menunjukkan
hubungan timbal balik antar Pribadi Allah tersebut. Bapa dihubungkan dengan
Putera, Putera dengan Bapa, dan Roh Kudus dihubungkan dengan keduanya. Hakekat
mereka adalah satu, yaitu Allah.[29]
Jadi bagaimana kita
menjelaskan Trinitas?
Kita akan mencoba
memahaminya dengan bantuan filosofi. Dengan pendekatan filosofi, maka
diharapkan kita akan dapat masuk ke dalam misteri iman, sejauh apa yang dapat
kita jelaskan dengan filosofi. Dengan demikian, filosofi
melayani teologi. Untuk menjelaskan
Trinitas, pertama-tama kita harus mengetahui terlebih dahulu beberapa istilah
kunci, yaitu apa yang disebut sebagai substansi/ hakekat/ kodrat dan apa yang
disebut sebagai pribadi/ hypostatis. Pengertian kedua istilah ini diajarkan oleh St. Gregorius dari
Nasiansa. Kedua, bagaimana menjelaskan prinsip Trinitas dengan argumentasi
kenapa hal ini sudah sepantasnya terjadi atau “argument of fittingness.” Ketiga, kita dapat menjelaskan konsep
Trinitas dengan argumen definisi kasih. Berikut ini mari kita lihat satu
persatu.
Arti ‘substansi/
hakekat’ dan ‘pribadi’
Mari kita lihat pada
diri kita sendiri. ‘Substansi’ (kadang diterjemahkan sebagai hakekat/ kodrat)
dari diri kita adalah ‘manusia’. Kodrat sebagai manusia ini adalah sama untuk
semua orang. Tetapi jika kita menyebut ‘pribadi’ maka kita tidak dapat
menyamakan orang yang satu dengan yang lain, karena setiap pribadi itu adalah
unik. Dalam bahasa sehari-hari, pribadi kita masing-masing diwakili oleh kata ‘aku’ (atau ‘I’ dalam bahasa Inggris), di mana ‘aku’ yang
satu berbeda dengan ‘aku’ yang lain. Sedangkan, substansi/ hakekat kita diwakili dengan kata ‘manusia’ (atau ‘human’). Analogi yang paling mirip (walaupun tentu
tak sepenuhnya menjelaskan misteri Allah ini) adalah kesatuan antara jiwa dan
tubuh dalam diri kita. Tanpa jiwa, kita bukan manusia, tanpa tubuh, kita juga
bukan manusia. Kesatuan antara jiwa dan tubuh kita membentuk hakekat kita
sebagai manusia, dan dengan sifat-sifat tertentu membentuk kita sebagai
pribadi.
Dengan prinsip yang
sama, maka di dalam Trinitas, substansi/hakekat yang ada adalah satu, yaitu
Tuhan, sedangkan di dalam kesatuan tersebut terdapat tiga Pribadi: ada tiga ‘Aku’,
yaitu Bapa. Putera dan Roh Kudus. Tiga pribadi manusia tidak dapat menyamai
makna Trinitas, karena di dalam tiga orang manusia, terdapat tiga “kejadian”/ ‘instances‘ kodrat manusia; sedangkan di dalam tiga
Pribadi ilahi, terdapat hanya satu kodrat Allah, yang identik dengan ketiga
Pribadi tersebut. Dengan demikian, ketiga Pribadi Allah mempunyai
kesamaan hakekat Allah yang sempurna, sehingga ketiganya membentuk kesatuan
yang sempurna. Yang membedakan Pribadi yang satu dengan yang lainnya hanyalah
terletak dalam hal hubungan timbal balik antara ketiganya.[30]
Argument of fittingness untuk menjelaskan
Trinitas
Aristoteles mengatakan
bahwa manusia adalah mahluk yang mempunyai akal budi.[31] Akal budi yang
berada dalam jiwa manusia inilah yang menjadikan manusia sebagai ciptaan yang
paling sempurna, jika dibandingkan dengan ciptaan yang lain. Akal budi, yang
terdiri dari intelek (intellect)
dan keinginan (will) adalah anugerah
Tuhan kepada umat manusia, yang menjadikannya sebagai ‘gambaran’ Allah sendiri.
Nah, intelek dan
keinginan tersebut memampukan manusia melakukan dua perbuatan prinsip yang
menjadi ciri khas manusia, yaitu: mengetahui dan mengasihi. Kemampuan mengetahui sesuatu tidaklah
menunjukkan kesempurnaan manusia, karena kita menyadari bahwa komputer-pun
dapat ‘mengetahui’ lebih banyak daripada kita, kalau dimasukkan program
tertentu, seperti kamus atau ensiklopedia. Namun, yang membuat manusia istimewa
adalah kerjasama antara intelek dan keinginan, jadi tidak sekedar mengetahui,
tetapi dapat juga mengasihi. Jadi hal ‘mengasihi’ inilah yang menjadikannya
sebagai mahluk yang tertinggi jika dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan,
apalagi dengan benda-benda mati.
Kita mengenal
peribahasa “kalau tak kenal, maka tak sayang“. Peribahasa ini sederhana, namun berdasarkan
suatu argumen filosofi, yaitu “mengetahui lebih dahulu, kemudian menginginkan
atau mengasihi.” Orang tidak akan
dapat mengasihi tanpa mengetahui terlebih dahulu. Bagaimana kita dapat
mengasihi atau menginginkan sesuatu yang tidak kita ketahui? Sebagai contoh,
kalau kita ditanya apakah kita menginginkan komputer baru secara cuma-cuma?
Kalau orang tahu bahwa dengan komputer kita dapat melakukan banyak hal, atau
kalaupun kita tidak memakainya, kita dapat menjualnya, maka kita akan dengan
cepat menjawab “Ya, saya mau.”
Namun kalau kita bertanya kepada orang pedalaman yang tidak pernah mendengar
atau tahu tentang barang yang bernama komputer, maka mereka tidak akan langsung
menjawab “ya”. Mereka mungkin akan bertanya dahulu, “komputer itu, gunanya
apa?” Di sini kita melihat
bahwa tanpa pengetahuan tentang barang yang disebut sebagai komputer, orang
tidak dapat menginginkan komputer.
Nah, berdasarkan dari
prinsip “seseorang tidak dapat memberi jika tidak lebih dahulu mempunyai”[32] maka Tuhan yang memberikan kemampuan pada
manusia untukmengetahui dan mengasihi, pastilah memiliki kemampuan tersebut secara
sempurna. Jika kita mengetahui sesuatu, kita mempunyai konsep tentang sesuatu
tersebut di dalam pikiran kita, yang kemudian dapat kita nyatakan dalam
kata-kata. Maka, di dalam Tuhan, ‘pengetahuan’ akan Diri-Nya sendiri dan segala
sesuatu terwujud di dalam perkataan-Nya, yang kita kenal sebagai “Sabda/
Firman”; dan Sabda ini adalah Yesus, Sang Allah Putera.
Jadi, di dalam Pribadi
Tuhan terdapat kegiatan intelek dan keinginan yang terjadi secara sekaligus dan
ilahi,[33] yang mengatasi
segala waktu, yang sudah terjadi sejak awal mula dunia. Kegiatan intelek ini
adalah Allah Putera, Sang Sabda (“The Word“). Rasul Yohanes mengatakan pada permulaan Injilnya, “Pada mulanya adalah
Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (Yoh 1:1).
Selanjutnya,
kesempurnaan manusia sebagai mahluk personal dinyatakan, tidak hanya melalui
kemampuannya untuk mengetahui, namun juga mengasihi, yaitu memberikan dirinya kepada orang lain dalam
persekutuannya dengan sesama. Maka ‘mengasihi’ di sini melibatkan pribadi yang
lain, yang menerima kasih tersebut. Kalau hal ini benar untuk manusia pada
tingkat natural, maka di tingkat supernatural ada kebenaran yang sama dalam
tingkatan yang paling sempurna. Jadi Tuhan tidak mungkin Tuhan yang
‘terisolasi’ sendirian, namun “keluarga Tuhan”, dimana keberadaan-Nya,
kasih-Nya, dan kemampuan-Nya untuk bersekutu dapat terwujud, dan dapat menjadi
contoh sempurna bagi kita dalam hal mengasihi. Dalam hal ini, hubungan kasih
timbal balik antara Allah Bapa dengan Putera-Nya (Sang Sabda) ‘menghembuskan’
Roh Kudus; dan Roh Kudus kita kenal sebagai Pribadi Allah yang ketiga.
Argumen dari definisi
kasih.
Seperti telah
disebutkan di atas, kasih tidak mungkin berdiri sendiri, namun melibatkan dua
belah pihak. Sebagai contoh, kasih suami istri, melibatkan kedua belah pihak,
maka disebut sebagai “saling”
mengasihi. Kalau Tuhan adalah kasih yang paling sempurna, maka tidak mungkin
Tuhan tidak melibatkan pihak lain yang dapat menjadi saluran kasih-Nya dan juga
dapat membalas kasih-Nya dengan derajat yang sama. Jadi Tuhan itu harus satu,
namun bukan Tuhan betul- betul sendirian. Jika tidak demikian, maka Tuhan tidak
mungkin dapat menyalurkan dan menerima kasih yang sejati.
Orang mungkin
berargumentasi bahwa Tuhan bisa saja satu dan sendirian dan Dia dapat
menyalurkan kasih-Nya dan menerima balasan kasih dari manusia. Namun, secara
logis, hal ini tidaklah mungkin, karena Tuhan Sang Kasih Ilahi tidak mungkin
tergantung pada manusia yang kasihnya tidak sempurna, dan kasih manusia tidak
berarti jika dibandingkan dengan kasih Tuhan. Dengan demikian, sangatlah masuk
di akal, jika Tuhan mempunyai “kehidupan batin,” di mana Dia dapat memberikan kasih sempurna
dan juga menerima kembali kasih yang sempurna. Jadi, dalam kehidupan batin
Allah inilah Yesus Kristus berada sebagai Allah Putera, yang dapat memberikan
derajat kasih yang sama dengan Allah Bapa. Hubungan antara Allah Bapa dan Allah
Putera adalah hubungan kasih yang kekal, sempurna, dan tak terbatas. Kasih ini
membuahkan Roh Kudus.[34] Dengan hubungan kasih yang sempurna tesebut
kita mengenal Allah yang pada hakekatnya adalah KASIH. Kesempurnaan kasih Allah
ini ditunjukkan dengan kerelaan Yesus untuk menyerahkan nyawa-Nya demi
kasih-Nya kepada Allah Bapa dan kepada kita. Yesus memberikan Diri-Nya sendiri
demi keselamatan kita,[35] agar kita dapat mengambil bagian dalam
kehidupan-Nya oleh kuasa Roh-Nya yaitu Roh Kudus.
Trinitas
adalah suatu misteri, dan Tuhan menginginkan kita berpartisipasi di dalam-Nya
agar dapat semakin memahami misteri tersebut
Memang pada akhirnya,
Trinitas hanya dapat dipahami dalam kacamata iman, karena ini adalah suatu
misteri[36], meskipun ada banyak
hal juga yang dapat kita ketahui dalam misteri tersebut. Manusia dengan
pemikiran sendiri memang tidak akan dapat mencapai pemahaman sempurna tentang
misteri Trinitas, walaupun misteri itu sudah diwahyukan Allah kepada manusia.
Namun demikian, kita dapat mulai memahaminya dengan mempelajari dan merenungkan
Sabda Allah dalam Kitab Suci, pengajaran para Bapa Gereja dan Tradisi Suci yang
ditetapkan oleh Magisterium (seperti hasil Konsili), juga dengan bantuan
filosofi dan analogi seperti diuraikan di atas. Selanjutnya, pemahaman kita
akan kehidupan Trinitas akan bertambah jika kita mengambil
bagian di dalam kasih Trinitas itu, seperti yang dikehendaki oleh Tuhan.
Di sinilah pentingnya
peran Sakramen
dan doa: Sakramen Pembaptisan
merupakan rahmat awal, ‘gerbang’ yang memungkinkan kita mengambil bagian dalam
kehidupan ilahi (lihat artikel: Sudahkah kita
diselamatkan?). Kemudian, Sakramen
Ekaristi mengambil peranan utama, karena di dalamnya kita menyambut Kristus
sendiri, dan dengan demikian kita mengambil bagian di dalam kehidupan Allah
Tritunggal melalui Yesus (baca artikel: Ekaristi: Sumber dan
Puncak Spiritualitas Kristiani). Di sinilah juga pentingnya peran penghayatan akan Sakramen
Perkawinan, sebab di dalam Perkawinan, kita melihat bagaimana hubungan kasih
antara suami dan istri yang direncanakan oleh Allah untuk menjadi gambaran akan
kasih Allah Tritunggal (silakan baca: Indah dan Dalamnya
Makna Sakramen Perkawinan Katolik). Demikian pula, kasih Allah Tritunggal pula yang mengilhami
Sakramen Tahbisan Suci, karena melalui Tahbisan Suci, para imam dipanggil untuk
meniru teladan hidup Yesus, terutama dalam hal mengasihi, yaitu dengan
memberikan diri kepada Allah dan sesama secara total. Memang, pada dasarnya
sakramen-sakramen adalah ‘sarana’ yang diberikan oleh Allah kepada kita, agar
kita dapat mengambil bagian di dalam kehidupan ilahi-Nya (mohon dibaca: Sakramen: apa
pentingnya dalam kehidupan kita?, terutama pada sub judul: Akibat utama penerimaan Sakramen).
Akhirnya, kitapun perlu memeriksa kehidupan doa kita, apakah kita setia dalam
menyediakan waktu untuk Tuhan dan menghayati kesatuan denganNya di dalam
kehidupan rohani kita? Bagaimana sikap kita terhadap sakramen- sakramen yang
dikaruniakan Allah? Adakah kita cukup menghargai dan merindukannya? Pertanyaan
ini memang kembali kepada diri kita masing-masing.
Kesimpulan
Melihat begitu
dalamnya kehidupan batin Allah, hati kita melimpah dengan ucapan syukur. Sebab
kehidupan batin tersebut tidak hanya ‘tertutup’ bagi Allah sendiri, namun Ia
‘membuka’ kehidupan-Nya agar kita dapat mengambil bagian di dalamnya. Ya, Allah
sesungguhnya tidak ‘membutuhkan’ kita, sebab kasihNya telah sempurna di dalam
kehidupan Tritunggal Maha Kudus. Namun justru karena kasih yang sempurna itu,
Ia merangkul kita semua, jika kita mau menanggapi panggilan-Nya. Mari bersama
kita berjuang, agar lebih menghargai
rahmat Allah yang terutama dinyatakan di dalam sakramen-sakramen, terutama
sakramen Ekaristi, sehingga kita dapat semakin menghayati persatuan kita dengan
Kristus, yang membawa kita kepada persatuan dengan Allah Tritunggal: Bapa,
Putera dan Roh Kudus. Dengan
persatuan dengan Allah ini, kita mencapai puncak kehidupan spiritualitas, di
mana kita dimampukan oleh Allah untuk mengasihi Dia dan sesama.
Doa
Penutup
Dalam
nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus,
Ya Allah,
kami bersyukur untuk misteri kehidupan-Mu dalam Tritunggal Maha Kudus. Di dalam
kehidupan batinMu, Engkau telah menyingkapkan kepada kami kedalaman kasih-Mu
yang tiada batasnya. Ampunilah kami, jika kami sering tidak menyadari
panggilan-Mu untuk mengambil bagian di dalam misteri kasih-Mu itu. Kami mohon,
ya Tuhan, bantulah kami dengan rahmat-Mu agar kami dapat untuk turut mengambil
bagian di dalam misteri Kasih itu, dengan mengambil bagian di dalam
sakramen-sakramen yang Engkau berikan, dan bantulah aku untuk lebih setia di
dalam kehidupan doaku, agar dengan kekuatan yang Engkau berikan, Engkau
memampukan kami untuk mengasihi Engkau dan sesama kami. Di dalam nama Yesus Kristus
kami naikkan doa ini. Amin.
Konsili Konstantinopel
I (359): menegaskan kembali Credo Nicea. Konsili ini mengembangkan Credo Nicea,
yang bersangkutan dengan Roh Kudus, sebagai, “Allah, Pemberi kehidupan, yang
berasal dari Bapa, bersama Bapa dan Putera, disembah dan dimuliakan.” Seperti
Allah Putera, Roh Kudus adalah satu dan sama hakekatnya (ousia).
Sumber :
http://www.katolisitas.org/563/trinitas-satu-tuhan-dalam-tiga-pribadi http://www.imankatolik.or.id/allahtritunggal.html
Shalom saudara-saudari Kristen. Sudah ada yang pernah mendengar tentang Shema Yisrael? Ini adalah kalimat pengakuan iman orang Yahudi yang biasa diucapkan pada setiap ibadah mereka baik itu di rumah ibadat atau sinagoga maupun di rumah. Yesus juga menggunakan Shema untuk menjawab pertanyaan dari seorang ahli Taurat mengenai hukum yang utama. Kita dapat baca di Ulangan 6 ayat 4 dan Injil Markus 12 ayat 29. Dengan mengucapkan Shema, orang Yahudi mengakui bahwa YHWH ( Adonai ) Elohim itu esa dan berdaulat dalam kehidupan mereka. Berikut teks Shema Yisrael tersebut dalam huruf Ibrani ( dibaca dari kanan ke kiri seperti huruf Arab ) beserta cara mengucapkannya 👇🏻
ReplyDeleteTeks Ibrani Ulangan 6 ayat 4 : " שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אחד "
Cara mengucapkannya : " Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad "
Lalu berdasarkan halakha/ tradisi, diucapkan juga berkat: " ברוך שם כבוד מלכותו לעולם ועד " ( barukh Shem kevod malkuto le'olam va'ed ) yang artinya diberkatilah nama yang mulia kerajaanNya untuk selama-lamanya. אמן/ Amin🤲🏻
ש🕎✡️🐟📜🖖🏻🕍🗺️🕊️🌾🍇🍎🍏🥛🍯🍷