TUGAS
AGAMA KATHOLIK :
Arti
dan Makna Perkawinan
Pemahaman Perkawinan
Menurut
Gereja Katolik
Gereja Katolik
Salah
satu usaha menafsirkan
AJARAN
GEREJA KATOLIK TENTANG PERKAWINAN
Ada begitu banyak pasangan calon
mempelai yang sudah lama berpacaran, namun seringkali mereka belum
mempergunakan kesempatan pacaran itu untuk dapat mempersiapkan diri dalam
membangun keluarga katolik. Salah satu hal yang sangat penting namun seringkali
terlupakan adalah kurangnya/ tidak pernah dilaksanakan pengolahan pengalaman
hidup untuk melangsungkan suatu pernikahan sesuai ajaran Gereja Katolik. Oleh
karena itu pentinglah, dalam membaca uraian di bawah ini, pembaca menggali
pengalaman pribadi, khususnya ketika mempersiapkan perkawinannya. Rumusan ini
bisa membantu untuk menilai diri sendiri, apakah memang sudah siap (minimal)
secara mental dan rohani untuk melangsungkan perkawinan.
Perkawinan
adalah:
Persekutuan
Hidup - Antara Seorang Pria Dan Seorang Wanita - Yang Terjadi Karena
Persetujuan Pribadi - Yang Tak Dapat Ditarik Kembali - Dan Harus Diarahkan
Kepada Saling Mencintai Sebagai Suami Isteri - Dan Kepada Pembangunan Keluarga
- Dan Oleh Karenanya Menuntut Kesetiaan Yang Sempurna - Dan Tidak Mungkin
Dibatalkan Lagi Oleh Siapapun, Kecuali Oleh Kematian.
a.
PERSEKUTUAN HIDUP
Apa yang pertama-tama kelihatan
pada perkawinan Katolik? Jawabnya adalah: Hidup bersama. Namun, hidup bersama
itu masih beranekaragam isinya. Dalam perkawinan Katolik, hidup bersama itu
mewujudkan persekutuan. Jadi, hidup bersama yang bersekutu. Bersekutu mengisyaratkan
adanya semacam kontrak, semacam ikatan tertentu dengan sekutunya. Bersekutu
mengandaikan juga kesediaan pribadi untuk melaksanakan persekutuan itu, dan
untuk menjaga persekutuan itu. Ada kesediaan pribadi untuk mengikatkan diri
kepada sekutunya, dan ada kesediaan pribadi untuk memperkembangkan ikatannya
itu supaya menjadi semakin erat.
Ikatan ini tidak mengurangi
kebebasannya. Justru ikatan itu mengisi kebebasan orang yang bersangkutan.
Pertama-tama karena para calon mempelai memilih sendiri untuk bersekutu, dan
bebas untuk memilih mau bersekutu dengan siapa, memilih untuk terikat dengan
menggunakan kebebasan sepenuhnya; tetapi juga karena kebebasan itu hanya dapat
terlaksana dalam melaksanakan pilihannya untuk bersekutu ini. Dengan kata lain
boleh dikatakan bahwa persekutuan itu membuat orang sungguh-sungguh bebas
karena dapat memperkembangkan kreatifitas dalam memelihara dan mengembangkan
persekutuan itu; bukan dengan menghadapkan diri pada pilihan-pilihan yang baru
lagi. Persekutuan yang dibangun itu menjadi tugas kehidupan yang harus
dihayatinya.
b. SEORANG PRIA DENGAN SEORANG WANITA
Penekanan pertama di sini adalah
seorang dengan seorang: artinya orang seutuhnya dengan orang seutuhnya. Ini
menggambarkan penerimaan terhadap satu pribadi seutuhnya. Yang diterima untuk
bersekutu adalah pribadi, bukan kecantikan, kegantengan, kekayaan
atau kepandaiannya saja. Ada beberapa catatan untuk penerimaan satu pribadi
ini: Pertama, menerima pribadi itu berarti menerima juga seluruh latar belakang
dan menerima seluruh masa depannya. Artinya, saya tidak dapat menerima pribadi
itu hanya sebagai satu pribadi yang berdiri sendiri. Selalu, saya harus
menerima juga orang tuanya, kakak dan adiknya, saudara-saudaranya, teman-temannya,
bahkan juga bahwa dia pernah berpacaran atau bertunangan dengan si ini atau si
itu. Lebih jauh lagi, saya juga harus menerima segala sesuatu yang terjadi
padanya di masa mendatang: syukur kalau ia menjadi semakin baik, tetapi juga
kalau ia menjadi semakin buruk karena penyakit, karena ketuaan, karena
halangan-halangan; saya masih tetap harus menerimanya. Yang ke dua, menerima
pribadi berarti menerima dia apa adanya, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Kalau dipikir secara matematis: yang bersekutu itu satu dengan
satu; bukan 3/4 + 1/2, atau 1 + 6/8; lebih-lebih lagi, bukan satu dengan satu
setengah/satu seperempat/satu tiga perempat/apalagi dengan dua, tiga, dan
seterusnya.
Dengan ungkapan lain lagi: Saya
seutuhnya, mau mencintai dia seutuhnya/apa adanya. Ini berarti, saya mau
menerima dia seutuhnya, apa adanya; tetapi juga sekaligus saya mau menyerahkan
diri seutuhnya kepadanya saja. Yang lain sudah tidak mendapat tempat lagi di
hati saya, di pikiran saya. Hanya dia saja. Bahkan, anak-anakpun tidak boleh
melebihi dia di hadapan saya, dalam pelayanan saya.
Penekanan ke dua pada seorang pria dengan seorang wanita.Yang ini kiranya cukup jelas. Hanya yang sungguh-sungguh pria dan yang sungguh-sungguh wanita yang dapat melaksanakan perkawinan secara katolik.
Penekanan ke dua pada seorang pria dengan seorang wanita.Yang ini kiranya cukup jelas. Hanya yang sungguh-sungguh pria dan yang sungguh-sungguh wanita yang dapat melaksanakan perkawinan secara katolik.
c. PERSETUJUAN PRIBADI
Hidup bersekutu itu terjadi
karena setuju secara pribadi. Yang harus setuju adalah yang akan menikah. Dan
persetujuan itu dilakukan secara pribadi, tidak tergantung pada siapapun,
bahkan juga pada pasangannya. Maka, rumusannya yang tepat adalah: “Saya setuju
untuk melangsungkan pernikahan ini, tidak peduli orang lain setuju atau tidak,
bahkan tidak peduli juga pasangan saya setuju atau tidak”.
“Lalu bagaimana kalau pasangan saya kurang atau bahkan tidak setuju?. Dia hanya pura-pura setuju”. Kalau demikian, bukankah pihak yang setuju dapat dirugikan? Ya, inilah resiko cinta sejati. Cinta sejati di sini berarti saya setuju untuk mengikatkan diri dengan pasangan, saya setuju untuk menyerahkan diri kepada pasangan, saya setuju untuk menjaminkan diri pada pasangan; juga kalau akhirnya persetujuan saya ini tidak ditanggapi dengan baik/sesuai dengan kehendak saya. Yang menjadi dasar pemahaman ini adalah karena setiap mempelai membawa cinta Kristus sendiri. Kristuspun tanpa syarat mengasihi kita, Kristus tanpa syarat menerima kita dan memberikan DiriNya bagi kita.
“Lalu bagaimana kalau pasangan saya kurang atau bahkan tidak setuju?. Dia hanya pura-pura setuju”. Kalau demikian, bukankah pihak yang setuju dapat dirugikan? Ya, inilah resiko cinta sejati. Cinta sejati di sini berarti saya setuju untuk mengikatkan diri dengan pasangan, saya setuju untuk menyerahkan diri kepada pasangan, saya setuju untuk menjaminkan diri pada pasangan; juga kalau akhirnya persetujuan saya ini tidak ditanggapi dengan baik/sesuai dengan kehendak saya. Yang menjadi dasar pemahaman ini adalah karena setiap mempelai membawa cinta Kristus sendiri. Kristuspun tanpa syarat mengasihi kita, Kristus tanpa syarat menerima kita dan memberikan DiriNya bagi kita.
d. PERSETUJUAN PRIBADI YANG TAK DAPAT DITARIK KEMBALI
Persetujuan pribadi untuk
bersekutu itu nilainya sama dengan sumpah/janji dan bersifat mengikat seumur
hidup. Sebab persetujuan itu mengikutsertakan seluruh kehendak, pikiran,
kemauan, perasaan. Pokoknya seluruh kepribadian. Maka dinyatakan bahwa persetujuan
itu tidak dapat ditarik kembali. Sebab, penarikan kembali pertama-tama berarti
pengingkaran terhadap diri sendiri, pengingkaran terhadap kebebasannya
sendiri, pengingkaran terhadap cita-cita dan kehendaknya sendiri. Tetapi,
kemudian, juga berarti bahwa pribadinya sudah tidak menjadi utuh kembali.
e. DAN
YANG DIARAHKAN
Sebenarnya, pengalaman untuk
membuat dan memelihara dan memper kembangkan persetujuan pribadi untuk
bersekutu itu sudah harus dipupuk sejak masa pacaran Maka, ada banyak yang
merasa bahwa persetujuan semacam itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.
Pokoknya sudah beres, begitu. Semua sudah siap. Namun, kenyataannya
persetujuan yang terjadi pada masa pacaran belumlah memenuhi syarat
perkawinan. Dan benarlah, persetujuan yang dibangun pada masa pacaran baiklah
persetujuan sebagai pacar. Persetujuan yang dibangun pada masa tunangan,
baiklah persetujuan sebagai tunangan. Baru, setelah menikah, persetujuan itu
boleh menjadi persetujuan sebagai suami-isteri. Maka, Kita lihat, misalnya
adanya pembatasan-pembatasan dalam berpacaran, menunjukkan bahwa persetujuan
itu belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Secara lebih positif dapat dikatakan
bahwa persetujuan semasa pacaran lebih diarahkan untuk dapat melaksanakan janji
pada saat perkawinan. Supaya janji pada saat perkawinan sungguh berisi dan
memberi jaminan bagi masa depan baik pribadi maupun pasangannya. Tiga kata ini
juga dapat diartikan penegasan terhadap perkawinan sebagai awal dari kehidupan
baru bagi kedua mempelai. Bagaimanapun oleh perubahan situasi manusia masih
dapat berubah. Penegasan ini membantu para suami/isteri untuk melaksanakan isi
persetujuan itu.
f. SALING MENCINTAI SEBAGAI SUAMI ISTERI
Pengalaman menunjukkan bahwa
calon mempelai biasanya bingung dengan ungkapan ini. Mereka merasa sudah saling
mencintai, kok masih ditanya soal ini. Masalahnya, sering tidak disadari bahwa
cinta itu bermacam-macam. Ada cinta sebagai saudara, ada cinta sebagai sahabat,
ada cinta karena belas kasihan, demikian pula ada cinta suami isteri. Tentu
saja, yang namanya cinta sejati tidak pernah dapat berbeda-beda. Yesus menunjuk
cinta sejati itu sebagai orang yang mengorbankan nyawaNya bagi yang
dicintaiNya. Dan Yesus memberi teladan dengan hidupNya sendiri yang rela sengsara,
bahkan sampai wafat untuk kita semua yang dicintaiNya. Namun, perwujudan cinta
sejati itu ternyata bisa beranekaragam. Kekhasan dari cinta suami isteri adalah
adanya keterikatan istimewa yang membuat mereka dapat menyerahkan diri
seutuhnya bagi pasangannya. Dalam hal ini kiranya cinta suami isteri dapat
disejajarkan dengan cinta yang diwujudkan dalam suatu kaul biara atau janji
seorang imam. Bedanya, kalau kaul biara atau janji seorang imam tertuju kepada
Tuhan di dalam umatNya; dalam perkawinan cinta itu tertuju kepada Tuhan di
dalam pasangannya. Yang mau dituju adalah membangun suasana saling mencintai
sebagai suami/isteri. Maka, tidak hanya membabi buta dengan cintanya sendiri.
“Pokoknya saya sudah mencintai”. Ini tidak cukup. Perjuangan seorang
suami/isteri adalah di samping memelihara dan memperkembangkan cintanya, juga
mengusahakan supaya pasangannya dapat ikut mengembangkan cintanya sebagai
suami/isteri.
g. PEMBANGUNAN
KELUARGA
Hidup dalam persekutuan sebagai
suami-isteri mau tidak mau mewujudkan suatu keluarga. Harus siap untuk menerima
kedatangan anak-anak, harus siap untuk tampil sebagai keluarga, baik di hadapan
saudara-saudara, di hadapan orang tua maupun di hadapan masyarakat pada
umumnya. Maka, membangun hidup sebagai suami-isteri membawa juga kewajiban
untuk mampu menghadapi siapapun sebagai satu kesatuan dengan pasangannya. Mampu
bekerjasama menerima, memelihara dan mendewasakan anak, mampu bekerjasama
menerima atau datang bertamu kepada keluarga-keluarga lain, mampu ikut serta
membangun Gereja. Semuanya dilaksanakan dalam suasana kekeluargaan.
h. KESETIAAN YANG SEMPURNA
Setia dalam hal apa? Empat hal
yang sudah diuraikan di atas, yakni persekutuan hidup antara seorang pria dan
seorang wanita, memelihara dan memperkembangkan persetujuan pribadi, membangun
sa ling mencintai sebagai suami isteri, membangun hidup berkeluarga yang sehat.
Tidak melaksanakan salah satunya berarti sudah tidak setia. Apalagi kalau
kemudian mengalihkan perhatiannya kepada sesuatu yang lain: membangun
persekutuan yang lain, membuat persetujuan pribadi yang lain, membangun
hubungan saling mencintai sebagai suami isteri dengan orang lain, membangun
suasana kekeluargaan dengan orang lain (juga saudara): Ini dosanya besar sekali.
Satu pedoman untuk kesetiaan yang sempurna adalah Kristus sendiri. Ia setia
kepada tugas perutusanNya, Ia setia kepada BapaNya, Ia setia kepada manusia,
kendati manusia tidak setia kepadaNya.
i. TAK DAPAT DIPISAHKAN OLEH SIAPAPUN
Persekutuan perkawinan terjadi
oleh dua pihak, yakni oleh suami dan isteri. Maka, tidak ada instansi atau
siapapun yang akan dapat memutuskan persetujuan pribadi itu. Bahkan suami
isteri itu sendiripun tidak dapat memutuskannya, sebab persekutuan itu dibangun
atas dasar kehendak Tuhan sendiri. Dan Tuhanlah yang merestuinya. Maka,
pemutusan persekutuan perkawinan bisa dipandang sebagai pemotongan kehidupan
pribadi suami/isteri. Ini bisa berartipembunuhan, karena pribadi itu
dihancurkan.
j. KECUALI OLEH KEMATIAN.
Pengecualian ini didengar tidak
enak. Namun, nyatanya, misteri kematian tidak terhindarkan. Karena kematian
yang wajar, persetujuan pribadi itu menjadi batal, karena pribadi yang satu
sudah tidak mampu lagi secara manusiawi melaksanakan persetujuannya.